SENI adalah sebuah ungkapan perasaan manusia yang bisa diwujudkan dalam banyak bentuk. Bisa saja dengan menorehkan cat di atas kanvas hingga menjadi sebuah lukisan yang indah,membuat patung,keramik,atau seni juga bisa diwujudkan dengan merajah diri dengan gambar-gambar yang indah lewat tato.
Semuanya dilakukan demi menyalurkan rasa manusia akan nilai seni. Demikian pula yang dilakukan pemuda asal Jakarta bernama Suyanto. Bersama rekan-rekan sesama seniman jalanan, mereka bergerilya dari satu dinding ke dinding lainnya di jalanan Ibu Kota untuk menyalurkan hasratnya melukis grafiti, atau masyarakat mengenal itu dengan istilah mural.
Dulu di zaman Orde Baru (Orba),bersama seniman jalanan lainnya, Suyanto mengaku menganut aliran vandalisme, yaitu menggambari dinding manapun tanpa izin pemiliknya.Namun, seiring kesadaran bermasyarakat yang kian melekat,akhirnya Suyanto menjadi pelukis mural yang biasa dikontrak oleh instansi pemerintah untuk melukis dinding-dinding di jalanan Ibu Kota.Tentu saja dengan pesan moral yang singkat namun bermakna.
Misalnya pesan tentang berkendara dengan bijak atau taat membayar pajak. Demikianlah dari menganut aliran vandalisme yang liar, yang beraksi di malam hari dan sering diburu aparat, hingga menjadi seniman mural yang bijak ternyata memberikan kepuasan bagi Suyanto juga rekan-rekan sesama seniman jalanan kota besar.
Tidak heran,karya-karya mereka bisa dilihat di banyak dinding kota,mulai di Jalan Pemuda hingga Jalan Cikini Raya. Karya mereka menjadi penyegar gersangnya Ibu Kota. Tercatat dalam sejarah perkembangan mural di dunia,orang yang paling dikenal sebagai pengembang mural pertama adalah Diego Rivera,David Siqueiros, dan Jose Oronzo.
Mereka memperkenalkan teknik mural fresco yang menggunakan cat air dan uap kapur dalam karya-karya mereka sehingga hasil lukisan menjadi lebih hidup dan mengilap. Seiring perkembangan zaman,mural kemudian menjadi salah satu bentuk seni grafiti.Awalnya seni ini memiliki makna yang buruk karena goresan gambar dan kata-kata yang digoreskan cenderung arogan.
Selain itu, kata-kata yang terdapat di dalamnya juga sering berfungsi sebagai media provokasi terhadap pemerintahan yang berkuasa saat itu. Grafiti berasal dari bahasa Italia,yaitu grafiatto (menggores) atau menggambar di dinding. Karya grafiti sudah dikenal sejak masa Yunani dan Romawi kuno.
Orang Romawi bahkan melukis dinding monumen-monumen kota mereka dengan grafiti yang membuat suasana semakin ceria.Seiring berjalannya waktu,grafiti juga dikenal pada masa Renaisans sekitar abad ke-14. Menggambar dinding atau mural saat itu dimulai dari gereja. Sebelumnya di zaman gotik,gereja-gereja di Eropa tampak angker.
Suasana kurang nyaman itu mengilhami beberapa jemaat untuk mengubah wajah angker rumah ibadah tersebut menjadi lebih cantik. Cara yang dipilih adalah menggambari dinding-dinding gereja dengan lukisan. Gambar-gambar dalam dinding gereja biasanya mengekspresikan kesyahduan dan kecintaan pada Tuhan.
Para seniman kemudian tidak hanya menggambar di dindingdinding dalam ruangan, tetapi mulai menjalar hingga menggambari dinding di luar ruangan dan area publik.Gejala tersebut terjadi merata di negara-negara Barat hingga akhirnya juga merambah ke jalan-jalan di kota-kota besar di negeri ini.
”Waktu zaman perjuangan kemerdekaan,mural menjadi salah satu media provokasi yang sangat efektif,”kata Suyanto. Revolusi Prancis mencatat bagaimana mural yang dibuat oleh aktivis kiri menjadi bahan propaganda yang menggema dalam revolusi Prancis.Revolusi Rusia yang terkenal juga tidak lepas dari peranan mural di dinding pabrik dan tembok istana raja untuk menyadarkan orang akan situasi saat itu dan apa yang harus dilakukan.
Demikian pula dalam sejarah revolusi Indonesia, mural telah menjadi sebuah seni yang sangat penting.Di Yogyakarta pascagempa bumi, muncul mural di mana-mana, yang memberikan semangat dan motivasi bagi semua warga masyarakat untuk bangkit.
Di Jakarta, problem perkotaan seperti kemiskinan,polusi udara,kemacetan,dan situasi nasional bisa tergambarkan oleh mural-mural yang menghiasi berbagai tembok dan dinding sepanjang jalan kota. Seiring berubahnya zaman dan pemegang kekuasaan, kata Suyanto, mural juga mengalami pergeseran.
Jika awalnya dibuat dengan sembunyi-sembunyi, sekarang sudah ada kerja sama dengan instansi terkait. ”Dulu makna yang terkandung di dalamnya lebih pada pemberontakan dan provokasi, sekarang lebih banyak pada imbauan yang baik,”katanya lagi. Keuntungan sekarang,menurut Suyanto, adalah mural tidak lagi dianggap sebagai seni yang hanya bisa mencorat-coret dinding atau tembok.
Mural sekarang sudah dikenal sebagai aktivitas berkesenian. Pada zaman perjuangan kemerdekaan RI, ada dua nama yang sangat terkenal yakni Affandi dan Sudjoyono dalam konteks pembebasan lewat seni rupa.Peranan mereka tidak dapat dikecilkan. Karya mereka justru menjadi pesan yang mengobarkan semangat kaum muda melawan penjajahan.
Lukisan dan mural Affandi yang berjudul Tiga Pengemis misalnya telah menjadi alat yang efektif sebagai media propaganda melawan Jepang, dan untuk menyadarkan kaum muda akan nasib bangsanya. Dalam revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan,lukisan dan muralnya yang menggambarkan seorang pemuda memekikkan kata merdeka, sanggup membangkitkan semangat kaum muda. (bernadette lilia nova)
Evolusi Nilai Seni Grafiti
08.53
antokirosuke
0 komentar:
Posting Komentar