Eminent Person Group (EPG) yang membidani kelahiran G-20 pasti punya alasan prinsipil dan pertimbangan strategis ketika memberi akses kepada Indonesia menjadi anggota kelompok ini.
Di permukaan, kita akan dilihat atau ditempatkan sebagai wakil negara berkembang. EPG pasti punya catatan tentang peran Indonesia di panggung internasional yang begitu signifikan di masa lalu. Sebutlah kepeloporan Indonesia bagi kelahiran dan eksistensi gerakan nonblok hingga posisi Indonesia di ASEAN. Selain itu, dalam beberapa isu dengan cakupan global, Indonesia begitu sering tampil sebagai penyambung suara kelompok Selatan, menghadapi negara kaya atau superpower.
Di forum Word Trade Organization (WTO),kita sering bersuara lantang membela kepentingan kelompok selatan (negara berkembang). Karena itu, menjadi masuk akal jika EPG memberi posisi bagi RI di G-20.Apalagi, G- 20 sendiri merupakan forum informal yang membuka peluang bagi para pemimpin negara kaya dan negara berkembang mencari titik temu kepentingan masingmasing. Tapi, rasanya alasan itu saja tidak cukup. Pasti ada alasan lain yang lebih prinsipil dan strategis bagi EPG.
Tentang hal ini, setiap kita pasti punya persepsi sendirisendiri. Kalau aneka persepsi itu dirangkum, kita akan mendapatkan beberapa alasan prinsipil dan pertimbangan strategis dari para tokoh membidani kelahiran G-20. Pertama, kita negara besar dan pasar besar di kawasan ini.Kedua, kita sedang berproses menjadi salah satu negara demokrasi terbesar, yang pengaruhnya di masa depan akan sangat signifikan di panggung internasional.
Ketiga,kekayaan alam kita yang tak ternilai telah menghadirkan raksasa-raksasa bisnis (MNC) dari negara kaya untuk mencoba peruntungannya di bumi nusantara kita.Keempat, kita selama ini dikenal kooperatif dengan negara-negara kaya yang mengontrol lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia serta Bank Pembangunan Asia (ADB).
Alasan terakhir,barangkali, karena perekonomian Indonesia sudah mengadopsi p r i n s i p - p r i n s i p mekanisme pasar bebas atau liberalisme. Mencermati alasan prinsipil dan pertimbangan strategis itu, Indonesia harus taktis dan militan memperjuangkan kepentingan sendiri dan tetap lantang serta militan membela kepentingan negara berkembang. Taktis dan selalu waspada agar jangan sampai kita yang kooperatif dimanfaatkan atau dijadikan alat memaksa kelompok negara berkembang mengalah atau tunduk pada kehendak negara kaya.
Untuk memerangi kemiskinan dan pengangguran di negara berkembang,Indonesia pasti diharapkan terus melobi dan mendorong negara kaya membuka pasarnya bagi produk ekspor dari negara berkembang. Negara kaya pun harus menghormati semangat negara berkembang yang ingin mewujudkan kemandiriannya di sektor perekonomian. Dalam konteks kepentingan nasional, kita harus menegaskan kepada negara-negara kaya bahwa kita menolak jika melulu dijadikan target pasar produk ekspor mereka.
Negara kaya harus mengapresiasi kita karena mereka telah ikut menikmati kekayaan alam kita. Bahkan, mereka harus berhenti mengeksploitasi kekayaan alam kita dengan keunggulan teknologi mereka. Sebaliknya, sudah waktunya mereka membuka akses bagi kita untuk juga menguasai teknologi baru bagi kepentingan mengolah kekayaan alam kita. Sebab, cepat atau lambat kita juga harus mandiri.
*** Kini, G-20 telah berubah status menjadi satu-satunya forum informal yang akan membangun keseimbangan baru tatanan ekonomi global.Arah perekonomian global tidak lagi ditentukan atau dikendalikan negara-negara kaya yang selama ini tergabung dalam forum G-8.Melalui forum para pemimpin di G-20,masa depan perekonomian global harus mendengarkan aspirasi negara berkembang. Aspirasi negara berkembang itu akan disuarakan Indonesia dan beberapa negara lain di forum G-20.
Ada beberapa forum. di antaranya KTT Nonblok, yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk menyerap aspirasi negara berkembang. G-20 menyumbang 90% terhadap produk domestik bruto (PDB) dunia, mencapai USD60 triliun. Manakala diperlukan, G-20 menjadi amat powerful karena bersepakat meluncurkan langkah-langkah multilateral guna menjaga stabilitas perekonomian global. Bahkan, G-20 akan merancang reformasi sistem keuangan global.Perubahan arsitektur keuangan global itu secara bertahap akan menyeimbangkan sistem keuangan global.
Dominasi negara kaya lewat IMF dan Bank Dunia dan ADB akan diakhiri dengan keseimbangan baru pada 2011. Kalau target jangka menengah kita adalah mewujudkan kemandirian, harus ada target jangka pendek. Ambisi G-20 membangun keseimbangan perekonomian global, termasuk keseimbangan di sektor keuangan, barangkali bisa kita jadikan momentum menyehatkan sektor keuangan nasional. Proses menyehatkan sektor keuangan kita memang tak bisa dipisahkan dari niat baik negara-negara kaya anggota G-20 yang mengontrol IMF, Bank Dunia dan ADB.
Untuk target menyehatkan sektor keuangan nasional, kita hanya perlu mendapatkan pengertian dari ne-gara kaya dan tiga lembaga keuangan multilateral itu.Terpenting adalah kita taktis dan militanmeraihtargetitu.Kitahanya butuh keringanan pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri kita. Kita tidak meminta pengurangan. utang. Dalam beberapa tahun terakhir ini, keuangan pemerintah bisa dibilang pas-pasan.Beban pengeluaran APBN sangat berat, sebab sekitar 30% pengeluaran APBN hanya untuk cicilan pokok dan bunga utang luar negeri.
Tahun 2009 ini misalnya, total cicilan pokok dan bunga utang luar negeri yang harus dibayar mencapai Rp73,28 triliun, ketika nilai cadangan devisa diperkirakan kurang dari Rp60 triliun. Utang Surat Berharga Negara (SBN) yang jatuh tempo tahun ini sebesar Rp38,91 triliun dari total utang Rp112,29 triliun.Penguatan nilai tukar rupiah belakangan ini membantu menurunkan beban pembayaran cicilan pokok utang luar negeri Rp2,2 triliun. Posisi utang luar negeri Indonesia saat ini mencapai USD63,2 miliar.
Dengan utang luar negeri sebesar itu,total utang RI termasuk obligasi negara,mencapai 32% Produk Domestik Bruto (PDB). Utang dalam yen Jepang masih dominan, sebesar USD27,33 miliar.ADB menjadi kreditor kedua terbesar dengan jumlah USD10,6 miliar.Bank Dunia menjadi kreditor terbesar ketiga dengan total pinjaman USD8,8 miliar.Negara lain dengan pinjaman yang cukup besar kepada Indonesia adalah Jerman USD3,12 miliar. Amerika Serikat USD 2,36 miliar.
Sedangkan USD9,78 miliar sisanya berasal dari kreditor lain baik negara maupun lembaga keuangan multilateral. Semua kreditor utama kita adalah negara kaya anggota G-20. Mereka harus tahu bahwa beban pembayaran utang kita menyebabkan kemampuan Indonesia sangat rendah membiayai program stimulus ekonomi tahun ini.Bandingkan jumlah pembayaran utang Rp73,28 triliun dengan alokasi riil anggaran untuk stimulus fiskal sektor infrastruktur 2009 yang hanya sekitar Rp12 triliun.
Sulit bagi Indonesia mewujudkan kualitas pertumbuhan ekonomi yang solutif jika APBN kita dibebani pembayaran utang luar negeri yang begitu besar.Kemampuan membiayai pembangunan menjadi tidak maksimal.Padahal, problem kita multidimensional. Kita masih harus memerangi kemiskinan, menciptakan puluhan juta lapangan kerja guna mengatasi pengangguran. Kita telah mencatat kemajuan dalam memerangi terorisme, tetapi kita masih harus meningkatkan kekuatan pertahanan kita untuk mengeliminasi potensi terorisme di dalam negeri.
Rakyat menghendaki agar kita berhenti berutang. Artinya, pemerintah diminta mencari strategi lain untuk menyehatkan keuangan negara.Alternatif yang paling mungkin adalah mengajak para kreditor merundingkan keringanan jumlah cicilan pokok dan bunga utang kita. Inisiatif ini bisa diprakarsai Indonesia di forum G-20.(*)
Indonesia dan Momentum G-20
09.03
antokirosuke
0 komentar:
Posting Komentar